Ilmu Jiwa dan Psikologi
Ilmu jiwa
meliputi segala pemikiran, pengetahuan, tanggapan, dan juga meliputi segala
khayalan dan spekulasi mengenai jiwa itu.
Psikologi
meliputi ilmu pengetahuan mengenai jiwa yang diperoleh secara sistematis dengan
metode-metode ilmiah yang memenuhi syarat-syarat sebagaimana disepakati oleh
para sarjana psikologi masa kini.
Istilah ilmu jiwa
merujuk kepada ilmu jiwa pada umumnya.
Istilah psikologi
merujuk kepada ilmu jiwa yang ilmiah menurut norma-norma ilmiah modern.
**
Menurut Descartes, ilmu jiwa adalah ilmu
pengetahuan mengenai gejala-gejala
pemikiran atau gejala-gejala kesadaran manusia, terlepas dari badannya. Raga
manusia yang terdiri atas materi dipelajari oleh ilmu pengetahuan yang lain,
terlepas dari jiwanya. Demikian pula makhluk hewan yang menurut Descartes tidak
mempunyai jiwa, hanya dipelajari oleh ilmu pengetahuan alamiah yang mempelajari
materi.
**
John Locke
berpendapat pengalaman atau empiri itulah yang menjadi sumber segala
pengetahuan yang sebenarnya; tanpa pengalaman tidak dapat diperoleh pengetahuan
dengan sebenarnya.
- Semua pengetahuan, tanggapan, dan perasaan jiwa manusia diperoleh karena pengalaman melalui alat-alat inderanya. Ketika manusia dilahirkan, jiwanya kosong bagaikan sehelai kertas putih yang tidak ditulisi. Segala yang tertulis pada helai kosong tadi itu akan tertulis oleh pengalaman-pengalamannya sedari kecil melalui pancainderanya. Semua pergolakan jiwanya itu akan tersusun oleh pengalamannya.
- Susunan gejala jiwa manusia menurut John Locke itu pada akhirnya terdiri atas unsur-unsur pengalaman sederhana yang menggabungkan diri menjadi gejala-gejala jiwa yang lebih rumit, seperti kompleks-kompleks perasaan, berteori yang sulit, dan lain-lain. Unsur-unsur pengalaman yang sederhana itu terdiri atas dua macam, yaitu sensasi dan refleksi.
Menurut aliran
ilmu jiwa asosiasi, proses berpikir itu merupakan rentetan ingatan akan
pengalaman sederhana yang terasosiasi dengan lainnya sehingga ingatan yang satu
menimbulkan ingatan yang lain, dan ingatan terakhir ini menimbulkan lagi
ingatan berikut yang terasosiasi kepadanya, dan seterusnya.
Berpikir
merupakan deretan asosiasi antara sensasi dan refleksi; dan yang menentukan
ingatan mana akan terasosiasi itu adalah dalil-dalil asosiasi seperti yang
telah dirumuskan oleh Aristoteles, yaitu asosiasi karena persamaan waktu,
urutan waktu, persamaan arti, dan perlawanan arti.
**
Menurut Hume
terdapat pula unsur-unsur pengalaman lainnya yaitu impresi dan idea.
Dalam jiwa orang
itu dapat diuraikan ke dalam empat unsur dasar, yaitu:
- impressions of sensations
- Impressions of reflections
- Idea of sensations
- Idea of reflections
Menurut Hume,
terdapat tiga dalil asosiasi, yaitu:
- Asosiasi karena berdekatan dalam waktu dan ruang
- Asosiasi karena persamaan arti
- Asosiasi karena sebab-akibat
**
Pendapat Wilhelm
Wundt mengenai “asosiasi” dalam pikiran adalah sebagai berikut.
Ia mengakui bahwa
dalam kelangsungan pemikiran itu dapat terjadi proses-proses asosiasi di mana
hubungan erat antara dua atau tanggapan menyebabkan terseretnya tanggapan yang
satu oleh tanggapan lainnya di dalam pemikiran itu.
Akan tetapi,
menurut Wilhelm wundt, terjadinya asosiasi dalam pikiran itu bukan merupakan
inti dari pemikiran itu, seperti yang diterangkan oleh kaum asosiasionis.
Asosiasi mudah
berlangsung apabila kita secara pasif saja membiarkan tanggapan itu
timbul-tenggelam dalam pikiran kita dengan ditentukan oleh dalil-dalil
asosiasi.
Namun, apabila
terjadi pemikiran yang sebenarnya, maka dalil-dalil asosiasi itulah yang
menentukan jalan pikiran kita, sedang tujuan berpikir dan keinginan kita untuk
menyelesaikan tugas berpikir itu menentukan jalan kelangsungannya.
Jadi, bukanlah
dalail-dalail asosiasi yang menentukan kelangsungan pemikiran, tetapi tujuan
dan tugasnya dalam berpikir.
Bukan asosiasi
yang menentukan kelangsungan gejala-gejala kejiwaan itu karena pribadi manusia
dalam kegiatannya senantiasa diarakan atau ditujukan ke arah objek-objek
tertentu yang mendapat perhatian jiwa manusia.
Perhatian ini
menyebabkan adanya hubungan jiwa manusia dengan objek di luar (atau di
dalamnya), dan hubungan antara manusia dan objeknya itulah yang menentukan
corak kelangsungan, wujud dan bentuk kegiatan jiwanya.
Jadi, karena
hubungan antara pribadi dan objek – melalu perhatian terhadap objek itu –
timbullah gejala-gejala kejiwaan yang teratur, dan bukan karena gabungan
unsur-unsur pengalaman yang dikendalikan oleh dalil-dalil asosiasi tertentu
sebagaimana yang diterangkan oleh kaum ilmu jiwa asosiasi.
Wilhelm Wundt
juga berpendapat bahwa dalam memahami gejala-gejala kejiwaan manusia kita tidak
dapat memandang proses-proses kejiwaan itu sebagai penjumlahan dari
unsur-unsunya sebagaimana yang dikemukakan oleh kaum asosiasionis, tetapi bahwa
jiwa itu merupakan suatu kesatuan yang melebihi jumlah dari unsur-unsurnya.
**
Menurut Sigmund
Freud, terdapat tiga golongan gejala jiwa yang membuktikan adanya dinamika alam
tak sadar itu. Yaitu,
- Gejala-gejala tingkah laku keliru
- Gejala-gejala mimpi
- Gejala-gejala neurosis
**
Menurut Szondi,
alam tak sadar keluarga ini turut menentukan nasib riwayat kehidupan
anggota-anggota keluarga yang bersangkutan karena alam tak sadar ini
mempengaruhinya dalam hal memilih kawan-kawan sekelompok, memilih pendidikan
lanjutan, memilih jabatan, memilih jodoh; pendek kata, alam tak sadar keluarga
ini mempengaruhi semua pilihan yang menentukan jalan kehidupan orang itu.
**
Carl C. Jung
Alam tak sadar
kolektif yang lebih umum yang dimiliki bersama oleh suatu masyarakat, bangsa,
atau umat manusia.
Terbukti dengan
adanya simbol-simbol, lambang-lambang kebudayaan yang pada dasarnya mempunyai
arti yang sama antara beberapa kebudayaan di dunia ini.
**
Terdapat tiga
alam tak sadar,
- Alam tak sadar individual
- Alam tak sadar keluarga
- Alam tak sadar kolektif
Gerungan, Psikologi Sosial, Refika Aditama;2009
Comments
Post a Comment
Silahkan meninggalkan komentar. Salam hangat dan Terima Kasih.