Sisi Gelap Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan

Sisi Gelap Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan


Secara formal pemerintah Indonesia secara nasional telah dan masih melaksanakan model perencanaan dan penganggaran pembangunan yang katanya berparadigma partisipatif. Kebumen dan Bantul merupakan dua kabupaten di Jateng dan Yogya yang melakukan ide pembangunan seperti itu. Di kedua kabupaten itu, perencanaan dan penganggaran pembangunan dilakukan dengan cara menghimpun sejumlah usulan dan aspirasi dari desa. musrenbangdes, musrenbangcam dan musrenbangkab seolah telah menjadi mekanisme perencanaan yang akrab bagi pemerintah di kedua kabupaten tersebut. namun benarkah mekanisme tersebut telah memberi porsi besar bagi keikutsertaan publik dalam mengarahkan roda pembangunan?
berikut anda akan diajak menyimak sebuah resensi dari sebuah buku yang bertitel “Menabur Benih Di Ladang Tandus”. Kurang lebih, buku ini mencoba menguak dibalik indahnya skema perencanaan dan penganggaran di dua kabupaten tersebut yang katanya kesohor hingga ke daerah manca. Berbasis pada pengalaman pendampingan dan advokasi sistem pembangunan di kedua kabupaten tersebut, yang ditulis para aktivis IRE Yogyakarta, termasuk salah satunya saya, mungkin akan melahirkan kritik dan gagasan dari benak pembaca semua untuk segera melakukan perbaikan sistem perencanaan dan penganggaran pembangunan di daerah para pembaca sekalian. Disamping itu, pembaca sendiri mungkin ingin pula mengkritik, menilai atau bahkan membantai untaian perspektif dan pengalaman yang ditawarkan buku tersebut. Selamat membaca..!
 
Ketika orde baru berkuasa, tak ada celah bagi rakyat untuk masuk dalam perencanaan pembangunan. Tata kelola pemerintahan, berada di tangan pemerintah. Otoritas pembangunan tak secuil pun diberikan kepada warga negara. Padahal masyarakat adalah penyumbang terbesar dari pendapatan negara, sekaligus penerima manfaat dari pembangunan yang dilakukan pemerintah. Pemerintah sendiri adalah agen resmi yang diberi kewenangan untuk mengelola anggaran pembangunan yang telah dikumpulkan rakyat melalui pajak, retribusi atau pun pungutan sah lainnya. 
Sentralisasi perencanaan dan penganggaran membikin otoritas otonom tidak pernah dikenyam pemerintah daerah. Pemeerintah daerah selalu mengekor berbalut rasa traumatik kepada pemerintah pusat. Gerakan reformasi tahun 98, membuka keran desentralisasi pemerintahan. Reformasi juga telah mendobrak pintu gerbang pemerintahan yang sebelumnya bebal terhadap partisipasi masyarakat. Secara normatif, pemerintahan pada era ini kemudian melahirkan seperangkat regulasi yang menjamin partisipasi masyaraka dalam pemerintahan, terutama di arasy lokal. 
Namun demikian, era pemerintahan yang lebih terbuka ini mengalami distorsi, dimana derajat partisipasi secara formal yang didorong dalam sketsa demokrasi lokal belum berkorelasi positif dengan menurunya derajat kemiskinan. Perencanaan pembangunan sebagaimana diatur dalam UU No. 25 Tahun 2004 tentang sistem perencanaan pembangunan nasional dan UU No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah membentur dinding formalisasi partisipasi yang menjebak masyarakat ke dalam sistem yang secara normatif berpihak pada masyarakat. Akan tetapi pada kenyataannya, dalam proses musrenbang, masyarakat tidak mendapatkan alokasi program pembangunan yang proporsional. 
Hal ini bersebab karena proses perencanaan pembangunan tidak tersambung dengan proses penganggaran. Pada dataran partisipasi, masyarakat digiring secara formal dengan regulasi tersebut, agar terlibat dalam proses-proses formal perencanaan pembangunan. Namun pada saat fase perencanaan usai dan berlanjut pada fase penganggaran, partisipasi masyarakat terhenti. Padahal proses perencanaan dan penganggaran seharusnya merupakan satu kesatuan siklus dimana masyarakat tetap memiliki hak untuk terlibat di dalamnya. Menjembatani keterputusan hasil musrenbang dengan skema anggaran sebenarnya telah dijembatani melalui UU No. 17 Tahun 2003 tentang keuangan negara dan UU No. 33 Tahun 2004 tentang perimbangan dana pemerintah pusat dan daerah. Sayangnya jembatan ini pun tidak mampu menghantarkan keberpihakan anggaran belanja pembangunan pada masyarakat. 
Dalam sketsa pembangunan, hak-hak dasar masyarakat tetap tidak memperoleh alokasi dana yang proporsional. Buku yang diterbitkan IRE Yogyakarta bekerjasama dengan NDI (National Democratic Institute) ini mencoba mengeksplorasi minimnya keberpihakan anggaran pembangunan yang dikelola negara pada rakyat. Buku ini mencoba membuktikan desentralisasi politik yang sudah dijalankan masih memajang protret kemiskinan yang berakar pada sistem perencanaan pembangunan yang belum mengakomodir voice kaum miskin. Pada APBN misalnya, dari total anggaran sebesar Rp. 752 triliun, sebesar Rp. 498 triliun (66%0 dialokasikan untuk belanja pemerintah pusat, dan sebesar Rp. 254 triliun (34%) yang ditransfer ke daerah dalam bentuk dana perimbangan dan dana otonomi khusus. Angka 498 triliun yang dibelanjakan pemerintah pusat, terdiri dari 97,9 triliun untuk belanja pegawai, Rp. 61,8 triliun untuk pembayaran bunga utang, Rp. 105 triliun untuk subsidi, Rp. 47,5 triliun untuk bantuan sosial dan Rp. 24,1 triliun untuk belanja lain-lain. Jika dana sebesar 34% ”didaerahkan” melalui skema desentralisasi (block grant) sebagian besar belanja pemerintah pusat yang dibawa ke daerah dan desa, menggunakan skema dana alokasi khusus, dekonentrasi dan tugas pembantuan yang sudah ditentuka dan dikendalikan secara terpusat (specific grant). Termasuk dalam hal ini adalah anggaran untuk penanggulangan kemiskinan yang dikabarkan terus meningkat dari tahun ke tahun (Rp. 23 triliun tahun 2005, Rp. 42 triliun tahun 2006, 51 triliun tahun 2007 dan Rp. 58 triliun tahun 2008) (hal, 7-8). 
Buku yang ditulis tim riset IRE Yogyakarta ini merupakan hasil rekam dan renungan atas gerakan pemberdayaan yang dilakukannya di dua daerah. Dua daerah tersebut yaitu kabupaten bantul di Yogyakarta dan kabupaten Kebumen di Jawa Tengah. Gerakan pemberdayaan masyarakat sipil yang kritis terhadap perencanaan dan penganggaran di dua daerah tersebut berikhtiar untuk menciptakan ruang partisipasi bagi masyarakat sipil serta mendorong keterbukaan dan menekan konsistensi perencanaan dan penganggaran pembangunan daerah. Dalam pendekatannya, IRE meleburkan diri dengan masyarakat di dua kabupaten yang sama-sama di pimpin politisi dari PDIP, dengan mentransfer berbagai perspektif dan skill teknokratis dan politis dalam mendorong anggaran yang pro poor. Di dua kabupaten tersebut kini telah lahir dua komunitas berbasis masyarakat sipil yang mempunyai visi terciptanya sistem perencanaan dan penganggaran yang berpihak pada masyarakat miskin. Dua komunitas tersebut dikenal dengan nama Gabungan Masyarakat Sipil (Gampil) di Kebumen dan Rembug Warga Peduli Anggaran (Rewang) di Bantul. 
Dalam konteks ini IRE memilih pendekatan ”menabur benih” activ citizen dan berikhtiar memupuk mereka hingga muncul sosok-sosok baru dari garba masyarakat sipil yang peduli, menyuarakan dan memperjuangkan hak masyarakat miskin dalam sketsa program pembangunan. Tidak sebatas itu saja tentunya, kedua komunitas ini juga diharapkan mampu mendorong daya kritis masyarakat dalam melihat berbagai kemungkinan penyimpangan anggaran pembangunan yang dikelola pemerintah. Beberapa penguatan masyarakat sipil yang ditawarkan buku ini yakni transfer perspektif melalui pelatihan perencanaan dan penganggaran, monitoring anggaran (budget monitring), penelusuran belanja anggaran (budget tracking) serta menemukan kesesuaian dan efektifitas antara anggaran dengan pembelanjaannya yang dilakukan melalui survey kepuasan layanan publik dengan metode Report Card Survey dan User Based Survey. Bagian dari penguatan skill praksis yang salurkan kepada dua komunitas ini yaitu dengan mendorong mereka terlibat dalam skema perencanaan dan penganggaran daerah, melobi, mempertahankan dan memperjuangkan usulan masyarakat akar rumuput yang telah mereka suarakan melalui musrenbang desa. 
Sebagaimana terinformasikan dalam buku ini, keberhasilan mekanisme formal perencanaan dan penganggaran pembangunan melalui musrenbang di Bantul dan Kebumen belum mencerminkan sisi baik. Secara formal memang berjalan baik, semua tahapan perencanaan dilakukan. Namun secara substantif mekanisme tersebut mesih memperlihatkan celah-celah lemah diantaranya; pertama, musrenbangdes sebenarnya masih menjadi arena bagi kelas menengah ke atas, untuk mendaatkan subsidi dari negara. Proses dan para aktor musrenbang belum berorientasi lebih strategis dalam hal menyelsaikan akar persoalan yang dihadapi masyarakat, terutama strata menengah ke bawah. Kedua, kontestasi antar aktor mulai terasa ketika pelaksanaan musrenbang di tingkat kecamatan. Paling tidak ada tiga peserta musrenbang kecamatan yaitu wakil dai desa SKPD dan kelompok-kelompok sektoral. Ketiga aktor ini saling bersaing dan berebut argumentasi agar program-program usulan yang dibawa dari desa bisa masuk dalam sekala prioritas untuk diusulkan dalam musrenbangkab. Pertarungan antar aktor kian meluas saat memasuki tahapan musrenbang kabupaten, dan misi yang dibawa aktor dari desa sering kali terkalahkan dengan aktor yang lebih menguasai medan tempur kabupaten. Ketiga, jalur informal yang dimainkan para politisi, kelompok kepentingan yang bersarang dalam birokrasi acap kali merusak tatanan formal perencanaan dan penganggaran. Bermodalkan proposal tanpa bersusah payah terlibat dalam mekanisme formal musrenbang program-program dalam disain ini banyak menyingkirkan usulan-usulan masyarakat bawah yang notabenenya telah mengikuti aturan yang berlaku (lihat hal, 105-107).
Perspektif dan skill budget monitoring dan budget trackingi yang telah dipompakan kedalam ruang pikir dan tindakan para aktifis di Gampil dan Rewang ternyata membuahkan berbagai temuan yang cukup mampu membuktikan bahwa pada pembelanjaan APBD banyak terjadi penyimpangan. Penyimpangan anggaran sudah pasti menyebabkan menyusutnya kemanfaatan anggaran daerah. Di Kebumen misalnya, tercermin dari kasus penyimpangan anggaran dari proyek pembebasan lahan untuk pembangunan JLSS. Pak Giat yang memiliki sebidang tanah seluas 270 meter persegi, seharusnya menerima ganti rugi sebesar Rp. 6.750.000,-, tetapi yang diterima sebesar Rp. 6.427.500,-. Dari jumlah tanaman yang tumbuh diatas lahan tersebut Pak Giat seharusnya menerima ganti rugi sebesar Rp. 825.000,-. Namun ganti rugi ini belum ditermanya. Maka semua kerugian yang diderita pak Giat seluruhnya sebesar Rp. 1.292.000,-. Pun demikian dengan proyek rehabilitasi bendun kali Kedung Bener di desa Wada Malang. Tim monitoring Gampil menemukan sejumlah penyimpangan berupa komposisi adukan yang tidak sesuai dengan RAB, penggunaan pasir yang tidak berkualitas dan tidak adanya ganti rugi pemakaian bahan galian yang diambil dari masyarakat (lihat Bab 5). 
Kelebihan yang ditawarkan buku ini terletak pada pengalaman advokasinya. Buku ini secara sistematis disusun dari aspek filofis hingga pengalaman aksi advokasi perencanaan dan penganggaran. Sehingga, ketika anda membacanya, secara sistematis tertuntun dan seolah-olah anda membaca logical frame work dari sebuah disain besar program participatory budgeting and expenditure tracking (PBET). Buku ini juga dilengkapi dengan daftar singkatan yang akan memudahkan pembaca memahami berbagai istilah yang mungkin banyak kita temui saat kita bersentuhan dengan perencanaan dan penganggaran pembangunan. Selain itu, diakhir-akhir bab buku ini, tertampil pula tahapan dan cara melakukan survey dengan metode CRC.
Belajar dari pengalaman advokasi perencanaan dan penganggaran di dua Kabupaten ini, terbesit pesan utama bahwa mendorong system perencanaan dan penganggaran pembangunan akan menemui jalan berliku dan kadang terjal dan berbatu. Kondisi jalan yang demikian tidak lain karena aktor-aktor yang terlibat didalamnya masih bermind set meletakan masyarakat miskin sebagai others yang hak budgetnya bisa diabaikan. Namun demikian ada pesan pula bahwa gerakan masyarakat sipil tetap dibutuhkan untuk mendorong jalan perencanaan dan penganggaran menjadi jalan yang baik dan berpihak pada masyarakat miskin, dengan catatan masyarakat sipilpun harus selalu mempekuat kapasitasnya seiring dengan perubahan yang ada baik dari sisi teknokratis maupun politis.

Comments

Popular posts from this blog

Tips memilih gelasan layangan.

Isi/makna lagu DOREMI